Bayi Tabung


Memiliki anak dari hasil perkawinan merupakan dambaan setiap pasangan suami-istri. Namun jika sang anak tidak kunjung datang, segala upaya akan ditempuh, termasuk melalui program bayi tabung. Inilah beberapa ulasan mengenai bayi tabung.
Bayi tabung atau pembuahan in vitro (bahasa Inggris: in vitro fertilisation) adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil. Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Teknologi ini dirintis oleh P.C Steptoe dan R.G Edwards pada tahun 1977.

Teknik bayi tabung sempat mencatat keberhasilan luar biasa dan menggemparkan dunia. Metode yang diprakarsai sejumlah dokter Inggris ini berhasil menghadirkan bayi perempuan bernama Louise Brown pada 1978. Sebelum itu, untuk menolong pasangan suami-istri tak subur digunakan teknik inseminasi buatan, yakni penyemprotan sejumlah cairan semen suami ke dalam rahim dengan bantuan alat suntik. Dengan cara ini diharapkan sperma lebih mudah bertemu dengan sel telur. Sayang, tingkat keberhasilanya hanya 15%

Pada teknik in vitro yang melahirkan Brown, pertama-tama dilakukan perangsangan indung telur sang istri dengan obat khusus untuk menumbuhkan lebih dari satu sel telur. Perangsangan berlangsung 5 - 6 minggu sampai sel telur dianggap cukup matang dan sudah saatnya "dipanen". Selanjutnya, folikel atau gelembung sel telur diambil tanpa operasi, melainkan dengan tuntunan alat ultrasonografi transvaginal (melalui vagina).

Sementara semua sel telur yang berhasil diangkat dieramkan dalam inkubator, air mani suami dikeluarkan dengan cara masturbasi, dibersihkan, kemudian diambil sekitar 50.000 - 100.000 sperma. Sperma itu ditebarkan di sekitar sel telur dalam sebuah wadah khusus. Sel telur yang terbuahi normal, ditandai dengan adanya dua sel inti, segera membelah menjadi embrio. Sampai dengan hari ketiga, maksimal empat embrio yang sudah berkembang ditanamkan ke rahim istri. Dua minggu kemudian dilakukan pemeriksaan hormon Beta-HCG dan urine untuk meyakinkan bahwa kehamilan memang terjadi.
Sejak kelahiran Louise Brown, teknik bayi tabung atau In Vitro Fertilization (IVF) semakin populer saja di dunia. Semakin canggih saja
Sukses besar teknik IVF konvensional ternyata masih belum memuaskan dunia kedokteran, apalagi kalau mutu dan jumlah sperma yang hendak digunakan kurang. Maka dikembangkanlah teknik lain seperti PZD (Partial Zona Dessection) dan SUZI (Subzonal Sperm Intersection). Pada teknik PZD, sperma disemprotkan ke sel telur setelah dinding sel telur dibuat celah untuk mempermudah kontak sperma dengan sel telur. Sedangkan pada SUZI sperma disuntikkan langsung ke dalam sel telur. Namun, teknik pembuahan mikromanipulasi di luar tubuh ini pun masih dianggap kurang memuaskan hasilnya.

Sekitar lima tahun lalu Belgia membuat gebrakan lain yang disebut ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection). Teknik canggih ini ternyata sangat tepat diterapkan pada kasus mutu dan jumlah sperma yang minim. Kalau pada IVF konvensional diperlukan 50.000 - 100.000 sperma untuk membuahi sel telur, pada ICSI hanya dibutuhkan satu sperma dengan kualitas nomor wahid. Melalui pipet khusus, sperma disuntikkan ke dalam satu sel telur yang juga dinilai bagus. Langkah selanjutnya mengikuti cara IVF konvensional. Pada teknik ini jumlah embrio yang ditanamkan cuma 1 - 3 embrio. Setelah embrio berhasil ditanamkan dalam rahim, si calon ibu tinggal di rumah sakit selama satu malam.
Tetapi biaya mengikuti program IVF memang tidak murah. Pada akhir 1980-an biayanya sekitar Rp 5 juta. Kini, berkisar antara Rp 13,5 juta - Rp 18 juta. Harga obat suntik perangsang indung telur saja sudah naik hampir empat kali lipat. Padahal, suntikan yang dibutuhkan selama dua minggu mencapai 45 ampul.

Kalau sperma kosong
Pada kasus cairan air mani tanpa sperma (azoospermia), mungkin akibat penyumbatan atau gangguan saluran sperma, kini bisa dilakukan pengambilan sperma dengan teknik operasi langsung pada saluran air mani atau testis. Tekniknya ada dua, MESA (Microsurgical Sperm Aspiration) dan TESE (Testicular Sperm Extraction). Pada MESA, sperma diambil dari tempat sperma dimatangkan dan disimpan (epididimis). Sedangkan pada TESE, sperma langsung diambil dari testis yang merupakan pabrik sperma. Setelah sperma diambil, dipilih yang paling baik. Selanjutnya, dilakukan langkah-langkah menurut prosedur ICSI.
Perangsangan indung telur wanita pada prosedur bayi tabung memungkinkan terbentuknya banyak embrio. Tidak mungkin semua embrio ditransfer ke dalam rahim pada saat bersamaan. Embrio yang untuk sementara tidak digunakan dapat disimpan dengan cara kriopreservasi, yang selanjutnya disimpan dalam tabung berisi cairan nitrogen pada suhu 196oC di bawah nol derajat. Kapasitas tabung sekitar 100 embrio.

Simpan beku embrio ini menghemat biaya karena pasangan tidak perlu lagi mengulang proses pengerjaan dari awal lagi bila embrio berikutnya perlu ditanamkan kembali. Tidak seperti di Barat, embrio ataupun sperma yang tersimpan beku di Indonesia hanya diperuntukkan bagi pasutri yang bersangkutan.

Salah satu contoh keberhasilan teknik penyimpanan embrio bisa ditemukan di Belgia. Baru-baru ini lahir seorang bayi laki-laki sehat hasil penanaman embrio yang sudah dibekukan selama 7,5 tahun dari pasangan lain (anonim). Bayi yang dibantu kelahirannya oleh dr. Michael Vermesh ini beratnya 4 kg. Daya tahan embrio yang dibekukan bisa puluhan tahun dan tetap bisa menjadi bayi sehat.
*******


-=Perkembangan Anak Hasil Bayi Tabung=-
Bayi Tabung Tumbuh Lebih Pintar
Penelitian pertama terhadap anak-anak usia delapan tahun dari hasil pembuahan melalui metode intracytoplasmic sperm injection (ICSI), menunjukkan, bahwa mereka rata-rata memiliki tingkat intelegensi yang lebih baik daripada anak-anak hasil reproduksi normal. Hal tersebut menolak anggapan bahwa teknik tersebut tidak seaman metode in vitro vertilization (IVF) standar yang biasa dipakai untuk menghasilkan bayi tabung.

ICSI dilakukan dengan menyuntikkan sperma secara langsung ke dalam sel telur, berbeda dengan IVF standar yang hanya meletakkan sperma sedekat mungkin dengan sel telur, tanpa disuntikkan, agar dapat melakukan pembuahan secara alami.

Beberapa penelitian pendahuluan yang dilakukan sejak 1998 melaporkan bahwa anak-anak hasil ICSI usia satu tahun terlambat berkembang dibandingkan anak-anak yang normal. Sehingga keamanan teknik tersebut sempat diragukan. Tapi, penelitian yang lebih lama terhadap anak usia lima tahun, tidak ditemukan perbedaan tingkat perkembangan yang signifikan.

Baru-baru ini, tim yang dipimpin Lize Leunens dari Free University of Brussels (VUB) di Belgia membandingkan antara tingkat intelegensi dan kemampuan motorik terhadap 151 anak hasil ICSI usia delapan tahun dengan 153 anak hasil pembuahan normal.

Hasilnya, tidak ada perbedaan dalam kemampuan motorik dan anak-anak ICSI memiliki nilai tes intelegensi yang lebih tinggi daripada yang normal. "Kami sangat gembira karena dalam jangka panjang anak-anak tersebut tidak menderita kemunduran dalam perkembangannya," katanya.

Dalam penelitian tersebut, tidak ada perbedaan level pendidikan dari ibunya, yang diketahui mempengaruhi tingkat intelegensi seorang anak. Oleh karena itu Leunens berpendapat, bahwa alasan yang dapat menerangkan adalah motivasi yang lebih besar dari ibu yang mengandung bayi ICSI. "Ibu yang mengandung bayi ICSI ini mungkin mendedikasikan dirinya secara khusus sebagai orang tua," katanya.

Selain itu, penjelasan yang masuk akal juga disampaikan menanggapi kemunduran tingkat perkembangan pada bayi ICSI yang berusia sangat muda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibu bayi ICSI lebih suka membesarkan anaknya di rumah daripada mengirimkan ke playgroup atau berinteraksi dengan orang lain. Kondisi yang mungkin menyebabkan kemunduran dalam perkembangan sosial.

Tapi, penelitian ini bukanlah jawaban terakhir. Penelitian lain menunjukkan bahwa penolakan banyak orang tua untuk mengijinkan anaknya diteliti, mungkin agak menurunkan kepercayaan hasil penelitian Leunens. Faktanya, sepertiga orangtua anak-anak ICSI menolak berpartisipasi.
by. Putri n teaM

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds